Krisna Wijaya
Secara ekonomika, dalam proses penyertaan modal sering dikaji berbagai pendekatan kelayakan penyertaan, seperti interest rate of return (IRR), return on investment, dan pay back period. IRR biasanya mengacu kepada opportunity cost berupa tingkat suku bunga di pasar uang.
Misalnya mana lebih menguntungkan melakukan penyertaan dibandingkan dengan menyimpan uangnya dalam bentuk deposito.
Kajian ekonomika tersebut dilakukan dalam konteks komersial basis. Karena Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bukan investor dan atau lembaga komersial, setiap penyertaan yang dilakukan LPS acuannya adalah opportunity cost dalam bentuk mana lebih besar antara biaya penyelamatan dan biaya penutupan dalam bentuk membayar semua klaim simpanan serta biaya-biaya lainnya.
Dari sisi ekonomika tentunya mengundang pesimisme sehingga banyak yang mengatakan bahwa sangat sulit dana penyertaan modal sementara (PMS) LPS akan kembali sebesar yang disertakan dengan alasan siapa yang akan mau membeli Bank Century. Dari sisi optimisme menyatakan bahwa prospek perkembangan Bank Century dapat memberikan keyakinan bahwa saatnya nanti akan ada investor yang berminat.
Saat ini masalah Bank Century tidak lagi dalam ranah ekonomika semata. Adanya semacam penelitian yang saksama apakah melalui hak angket DPR, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), investigasi Kepolisian dan Kejaksaan ataupun KPK membuktikan itu. Semuanya tentu dalam konteks berupaya mencari fakta dan kebenaran. Suatu proses yang harus dihormati sekaligus disikapi secara rasional dan profesional, tetapi tidak emosional. Dalam konteks tersebut, ada beberapa catatan yang dapat dijadikan sebagai bahan kajian.
Pertama, berkembangnya opini yang sudah ”memvonis” bahwa kerugian negara adalah sebesar nilai PMS yang dilakukan LPS. Dalam kasus Bank Century sering disebutkan bahwa kerugian negara adalah sebesar PMS yang dilakukan LPS, yaitu mencapai Rp 6,792 triliun. Meski harus dibuktikan secara hukum, ada hal yang harus juga bisa diterima sebagai fakta bahwa dana PMS berasal dari premi dan hasil investasi LPS.
Kekayaan LPS sebesar Rp 18 triliun terdiri dari Rp 4 triliun sebagai modal dan kekayaan negara yang dipisahkan, sedangkan sisanya sebesar Rp 14 triliun berasal dari hasil premi dan investasi dana LPS pada Surat Utang Negara (SUN) dan atau dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Perlu juga diketahui bahwa premi tersebut dibayar oleh bank peserta program penjaminan karena sebagaimana diatur dalam Undang-Undang LPS Nomor 24 Tahun 2004, semua bank wajib mengikuti program penjaminan melalui LPS.
Kedua, berkaitan dengan besaran kerugian yang mungkin terjadi dari PMS. Seyogianya semua pihak harus bisa menerima kenyataan bahwa kerugian yang dimaksud masih terlalu dini disimpulkan karena kerugian riilnya baru dapat dihitung pada saat LPS melakukan divestasi pada saatnya nanti. LPS diberikan waktu sampai dengan tiga tahun untuk melakukan divestasi (menjual) dan dapat diperpanjang sampai dengan lima tahun apabila harga penjualannya masih belum optimal.
Ada probabilitas yang tidak boleh dikesampingkan bahwa kalau hasil divestasi ternyata lebih kecil dari PMS, selisihnya merupakan kerugian LPS. Sebaliknya, jika hasil divestasi melebihi nilai PMS, kelebihannya merupakan surplus bagi LPS.
Masalah ini memang dapat diperdebatkan apakah kerugian LPS juga berarti kerugian negara atau sebaliknya kalau divestasinya lebih besar dari PMS maka selisihnya keuntungan negara.
Persoalan kerugian, selain harus menunggu saat divestasi, tentunya juga harus menunggu hasil pengembalian dari para pemegang saham dan pengurusnya yang diduga menggunakan uangnya untuk kepentingan pribadi. Memang ada pesimisme yang beralasan, pemegang saham dan pengurusnya yang berada di luar negeri tidak akan tersentuh proses hukum sebagaimana kasus Bank Global, misalnya.
Kalau itu yang terjadi tentunya bukan persoalan ekonomi lagi, tetapi menjadi persoalan penegakan hukum.
Ketiga, secara ekonomika bagaimana kira-kira prospek Bank Century setelah dilakukan PMS memang masih memerlukan kajian lebih mendalam. Hanya dari berbagai indikator keuangan Bank Century (kini Bank Mutiara) sampai dengan Oktober 2009 memberikan indikasi perbaikan. Dampak PMS tidak saja menaikkan rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) yang sebelumnya minus 35,92 persen naik menjadi 10,17 persen, tetapi juga rasio perbandingan kredit dan dana pihak ketiga menjadi 76,80 persen, return on equity (ROE) mencapai 50,90 persen, aset Rp 7,05 triliun dan membukukan laba Rp 231 miliar.
Perkembangan Bank Century tersebut tentunya tidak salah kalau disikapi sebagai indikasi yang kondusif. Semakin kondusif lingkungan mikro dan makronya, termasuk dinamika politik, akan memberikan harapan perbaikan berkesinambungan. Menjaga kepercayaan sektor perbankan selalu berbiaya mahal dan jangan sampai tambah mahal hanya karena disikapi secara emosional.
Catatan tersebut tentunya hanya sebagai masukan untuk dikaji lebih lanjut dalam rangka melengkapi keseimbangan informasi mengenai kasus Bank Century. Jangan sampai niat baik DPR, BPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam menuntaskan kasus Bank Century mendapatkan informasi yang tidak valid dan didukung fakta. Sebab, kebohongan kalau diceritakan seribu kali, sementara kebenaran hanya sesekali, maka kebohonganlah yang dianggap benar.
Krisna Wijaya Praktisi dan Pengamat Perbankan dan kompas.com